Murobbi Ruhina Syaikhina Syaikh Alauddin Al Atthori RA
Beliau adalah Bintang di antara para Awliya yang Sempurna. Beliau adalah seorang ulama yang bertindak berdasarkan apa yang diketahuinya (calimun camil).
Beliau dikenal sebagai buah dari pohon Pengetahuan Ilahi, Kehidupan dari Pengetahuan Spiritual, Penghapus Kegelapan, Pemandu para bangsawan dan orang-orang kebanyakan, Sumur yang tidak pernah mengering, pemandu terbaik yang menerangi Jalan menuju Kehadirat Ilahi.
Beliau adalah yang pertama dalam menghilangkan singgasana kebohongan dari Jalur Kebenaran. Beliau berdiri di Pusat Bidang Kutub (aqtab) dan menanggung beban kekhalifahan spiritual.
Beliau mengangkat jiwa saudara-saudaranya sampai seluruh alam semesta memanggil dan mengingatkannya. Karena kejujurannya, pengetahuan agama eksternal dan internal bersemi dalam dirinya.
Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Rajab 802 H. Beliau meninggalkan semua warisan ayahnya kepada kedua saudaranya dan mengabdikan dirinya untuk belajar di sekolah di Bukhara. Beliau menjadi ahli di segala bidang seni, khususnya dalam Pengetahuan mengenai Sufisme dan Pengetahuan mengenai Islam. Beliau melamar putri Syah Naqsyband, memintanya untuk menikah dengannya.
Jawaban Syah Naqsyband baru muncul di suatu hari, lewat tengah malam, ketika beliau terbangun dari tidurnya di Qasr al-‘Arifan, dengan segera beliau pergi ke sekolah di Bukhara di mana Alauddin tinggal. Di sana beliau melihat semua orang tertidur, kecuali Alauddin, yang tetap terjaga dengan membaca al-Qur’an diterangi cahaya dari sebuah lampu minyak yang kecil. Beliau mendatanginya dari belakang dan menepuk pundaknya tetapi Alauddin tidak memberi respons. Beliau mendorongnya lebih keras, tetapi tetap tidak ada reaksi. Melalui pandangan spiritualnya, Syah Naqsyband mengerti bahwa Alauddin tidak berada di sana tetapi sedang berada dalam Kehadirat Ilahi.
Beliau lalu memanggilnya secara spiritual dan dengan segera Alauddin menoleh dan berkata, “Oh Syaikhku.” Syah Naqsyband berkata, “Aku bermimpi bahwa Rasulullah telah menerima lamaranmu kepada putriku. Dengan alasan itulah, Aku datang sendiri ke sini, di tengah malam, untuk menyampaikan kabar gembira ini.” Alauddin berkata, “Wahai Syaikhku, Aku tidak punya apa-apa yang bisa dibelanjakan baik oleh putrimu maupun diriku sendiri, karena Aku sangat miskin, seluruh warisan ayahku telah kuberikan kepada saudara-saudaraku.” Syah Naqsyband menjawab, “Wahai anakku, apa pun yang telah dituliskan Allah kepadamu di Hari Perjanjian akan tetap menjadi milikmu. Jadi jangan khawatir, Allah akan menyediakannya.”
Beliau berkata, “Suatu hari seorang Syaikh bertanya kepadaku, ‘Bagaimana hatimu?’ Aku berkata, ‘Aku tidak tahu bagaimana keadaan hatiku.’ Syaikh itu berkata, ‘Aku tahu hatiku, dia bagaikan bulan di sepertiga malam.’ Aku lalu menceritakan hal ini kepada Syah Naqsyband dan beliau berkata, ‘Dia berkata berdasarkan keadaan hatinya.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, beliau meletakkan kakinya di atas kakiku dan menekannya. Tiba-tiba Aku meninggalkan tubuhku dan melihat bahwa segala yang ada di dunia ini dan seluruh alam semesta berada di hatiku. Ketika aku terjaga dari keadaan tidak sadar itu, beliau masih berdiri di atas kakiku, dan berkata, ‘Jika hati seperti itu, maka tak seorang pun yang dapat melukiskannya. Sekarang bagaimana menurutmu hadits yang berbunyi, ‘Bumi dan langit tidak dapat memuat diriku, tetapi Aku berada dalam hati orang-orang yang beriman.’ Ini adalah salah satu rahasia yang harus kalian pahami.”
Selanjutnya Syah Naqsyband bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Beliau mengangkatnya dari satu tingkat pengetahuan ke tingkat lainnya dan mempersiapkannya untuk hadir dalam Kehadirat Ilahi dan untuk mendaki menara Pengetahuan Spiritual yang agung dan meninggalkan segala macam kebodohan untuk mencapai tingkat Realitas.
Beliau menjadi unik di antara sekian banyak murid pengikut Baha’uddin Naqsyband. Selama hidupnya Syah Naqsyband memerintahkannya untuk memberi pencerahan kepada para pengikutnya yang lain.
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Parsa yang menulis bahwa dia mendengar dari Syaikh Alauddin, “Aku diberi kekuatan oleh Syaikhku, Syah Naqsyband, sedemikian rupa sehingga bila Aku ingin memfokuskan setiap orang di alam semesta ini, Aku akan mengangkat mereka semua ke tingkat ihsan.”
Suatu ketika para ulama di Bukhara mempunyai beda pendapat mengenai kemungkinan melihat Allah di dunia ini. Sebagian dari mereka menyangkal kemungkinan itu sementara yang lain merasa yakin. Mereka semua adalah murid Syaikh Alauddin.
Mereka mendatanginya dan berkata, “Kami minta engkau menjadi juri dalam hal ini.” Beliau berkata, “Di antara kalian yang menyangkal kemungkinan untuk melihat Allah dalam kehidupan ini, ikutlah bersamaku selama 3 hari dengan tetap menjaga wudhu dan diam.”
Beliau menjaga mereka selama 3 hari, mengarahkan kekuatan spiritualnya kepada mereka, sampai mereka semua memperlihatkan keadaan yang sangat kuat yang menyebabkan mereka menjadi lemah lunglai. Ketika mereka sadar kembali, mereka mendatanginya dengan menangis, amanna wa saddaqna (“Kami percaya dan kami yakin bahwa hal itu benar!”) sambil mencium kakinya. Mereka berkata kepadanya, “Kami menerima apa yang engkau katakan, melihat Allah dalam hidup ini adalah suatu hal yang tidak mustahil.” Mereka mengabdikan diri mereka kepadanya dan tidak pernah meninggalkannya. Mereka juga menjadikan kebiasaan untuk mencium ambang pintunya. Mereka menggubah syair berikut:
Karena buta mereka bertanya,
“Bagaimana kami mencapai Tuhan?”
Menempatkan lilin kemurnian di tangan mereka.
Mereka akan tahu bahwa kemungkinan untuk melihat tidaklah mustahil.
Syaikh Alauddin sangat disayang dan diistimewakan oleh Syah Naqsyband, sebagaimana Nabi Yusuf yang sangat disayang oleh ayahnya, Nabi Yacqub.
Dari Pancaran Cahaya Kata-Katanya
Beliau berkata,
“Niat dalam berkhalwat adalah untuk meninggalkan segala hubungan duniawi dan mengarahkan diri kepada Kebenaran Surgawi.”
“Dikatakan bahwa para pencari dalam pengetahuan eksternal harus memegang teguh Tali Allah, sedangkan para pencari pengetahuan internal harus terikat kuat kepada Allah.”
“Ketika Syah Naqsyband mendapat pakaian baru, beliau akan memberikannya kepada orang lain untuk dipakai. Setelah mereka memakainya, beliau akan meminjamnya kembali.”
Tingkat Kefanaan
“Ketika Allah membuatmu lupa akan kekuatan duniawi maupun Kerajaan Surgawi, itu adalah Kefanaan yang Mutlak. Dan Jika Dia membuatmu lupa akan Kefanaan yang Mutlak itu, itu adalah Inti dari Kefanaan yang Mutlak.”
Perilaku yang Benar
“Kalian harus berada pada tingkat yang sesuai dengan orang-orang di sekitarmu dan menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya dari mereka, karena Rasulullah bersabda, ‘Aku telah diperintahkan untuk berbicara kepada orang-orang sesuai dengan apa yang bisa dimengerti oleh hati mereka.’”
“Waspadalah dalam menyakiti hari para Sufi. Jika engkau menginginkan persahabatan mereka, pertama kalian harus belajar bagaimana bertingkah laku di hadapan mereka. Kalau tidak kalian akan menyakiti diri sendiri, karena jalan mereka adalah jalan yang paling lembut. Disebutkan bahwa, ‘Tidak ada tempat di Jalan Kami bagi orang-orang yang tidak mempunyai perilaku yang baik.’”
“Jika kalian berpikir bahwa kalian telah berperilaku baik berarti engkau salah, karena memandang dirimu baik adalah suatu kesombongan.”
Mengenai Ziarah Kubur
“Manfaat yang dapat dipetik dari ziarah ke makam Syaikh kalian tergantung dari pengetahuanmu tentang mereka.”
“Berada di dekat makam orang-orang yang shaleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap dirimu, walaupun lebih baik untuk mengarahkan dirimu kepada jiwa mereka adalah dan itu bisa membawa pengaruh spiritual yang tinggi. Rasulullah bersabda, ‘Kirimkanlah do’a kepadaku di mana pun engkau berada.’ Ini menunjukkan bahwa kalian dapat mencapai Rasulullah di mana pun kalian berada, dan itu juga berlaku untuk semua Walinya, karena mereka mendapat kekuatan dari Rasulullah.”
“Adab, atau perilaku yang benar dalam berziarah adalah dengan mengarahkan dirimu kepada Allah dan membuat jiwa-jiwa ini sebagai jalanmu (wasilah) menuju Allah, merendahkan hatimu kepada Ciptaan-Nya. Kalian merendahkan hati secara eksternal kepada mereka dan secara internal kepada Allah. Menunduk di hadapan orang lain tidak diizinkan kecuali kalian memandang mereka sebagai perwujudan Tuhan. Dengan demikian kerendahan hati itu tidak diarahkan kepada mereka, tetapi diarahkan kepada Tuhan yang tampak dalam diri mereka, dan itulah Tuhan.”
Dzikir yang Terbaik
“Jalan untuk berkontemplasi (merenung) dan meditasi lebih tinggi dan lebih sempurna daripada berdzikir dengan kalimat la ilaha illallah. Para pencari, melalui kontemplasi dan meditasi (muraqabat), dapat meraih pengetahuan internal dan mampu memasuki Kerajaan Surgawi. Dia akan diberi kekuasaan untuk melihat Makhluk Allah dan mengetahui apa yang terlintas dalam benak mereka, bahkan gosip atau bisikan terkecil pun dapat diketahuinya. Dia akan diberi kekuasaan untuk mencerahkan hati mereka dengan cahaya inti dari inti tingkat Ke-Esaan.”
Melindungi Hati
“Diam adalah keadaan terbaik, kecuali dalam tiga kondisi: kalian tidak boleh berdiam diri dalam menghadapi gosip buruk yang menyerang hatimu, kalian tidak boleh berdiam diri dalam mengarahkan dirimu untuk mengingat Allah , dan kalian tidak boleh berdiam diri ketika pandangan spiritual dalam hatimu memerintahkan untuk bicara.”
“Melindungi hatimu dari pikiran jahat sangatlah sulit, dan Aku melindungi hatiku selama 20 tahun dengan tidak membiarkan ada satu godaan pun yang memasukinya.”
“Amalan terbaik dalam Thariqat ini adalah menghukum godaan dan gosip di dalam hati.”
“Aku tidak senang terhadap beberapa murid karena mereka tidak berusaha untuk menjaga keadaan pandangan spiritual yang muncul kepada mereka.”
Cinta terhadap Syaikh
“Jika hati para pengikut (murid) dipenuhi dengan cinta terhadap Syaikh, maka cinta ini mengalahkan semua cinta dalam hatinya, kemudian hati itu dapat menerima transmisi Pengetahuan Ilahi, yang tidak berawal dan tidak berakhir.”
“Murid harus menceritakan semua keadaannya kepada Syaikhnya, dan dia harus merasa yakin bahwa dia tidak akan mencapai tujuannya kecuali melalui kepuasan dan cinta Syaikhnya. Dia harus mencari kepuasan itu dan dia harus tahu bahwa semua pintu telah terkunci, internal dan eksternal, kecuali satu pintu, yaitu Syaikhnya. Dia harus mengorbankan dirinya demi Syaikhnya. Walaupun dia telah mempunyai pengetahuan tertinggi dan mujahada (kapasitas untuk berusaha) yang paling tinggi, dia harus meninggalkan semuanya dan sadar bahwa dia tidak ada artinya di hadapan Syaikhnya. Para pencari harus memberikan otoritas penuh kepada Syaikh dalam segala urusannya, baik religius maupun duniawi, sedemikian sehingga dia tidak mempunyai keinginan selain keinginan Syaikhnya. Tugas Syaikh adalah melihat aktivitas murid sehari-hari, memberi nasihat dan memperbaiki dirinya dalam kehidupan dan agamanya serta menolong mereka untuk menemukan jalan terbaik untuk mencapai realitasnya.”
“Mengunjungi Awliya adalah suatu Sunnah Wajiba, yaitu suatu kewajiban setiap pencari, paling tidak setiap hari, atau setiap hari lainnya, sementara menjaga batas dan kehormatan antara dirimu dengan Syaikh. Jika jarak antara kalian dengan Syaikh cukup jauh, kunjungilah beliau paling tidak sekali sebulan atau dua bulan sekali agar hubungan kalian tidak terputus. Jangan hanya tergantung pada koneksi antara dirimu dengan hati mereka.”
“Aku memberi jaminan kepada setiap pencari dalam thariqat ini, jika dia meniru Syaikh dengan hati yang tulus, pada akhirnya dia akan menemukan realitasnya. Syah Naqsyband memerintahkan Aku untuk meniru beliau dan apa pun yang Aku lakukan untuk meniru beliau dengan segera Aku memetik hasilnya.”
Namun demikian beliau juga memperingatkan,
“Para Guru dalam thariqat kita tidak dapat dikenali kecuali dalam Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan (Maqam at-Talwin). Siapa pun yang meniru tingkah laku mereka dalam maqam itu, dia akan berhasil. Namun demikian, barang siapa yang meniru tingkah laku mereka dalam Maqam Ihsan, maqam yang penuh kesempurnaan, dia akan tersesat. Dan dia hanya akan selamat dari penyimpangan itu jika gurunya memberi rahmat dan mengungkapkan Realitas dari Maqam itu kepadanya.”
Apa yang beliau maksudkan, dan sesungguhnya Allah Mahatahu, adalah bahwa para pencari tidak dapat meraih Kesempurnaan sampai dia disempurnakan. Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan adalah tempat di mana para pencari berjuang keras dengan puasa, ibadah, khalwat, dan dengan mempertahankan cinta dan penghormatannya kepada gurunya dari satu kesulitan kepada kesulitan yang lain. Meniru gurunya dalam tahap ini akan mendatangkan keberhasilan, karena gurunya sangat ahli dalam semua urusan ini. Namun, jika dia meniru gurunya ketika sedang berada dalam Maqam Kesempurnaan, dia akan berada dalam bahaya, seperti halnya ketika dia ingin terbang tanpa mengembangkan sayapnya lebih dahulu.
Penting sekali bagi para pencari untuk mendaki gunung sebelum dia menikmati pemandangan di puncak. Untuk mendaki gunung, para pencari harus melakukan perjalanan dari dunia yang rendah menuju Kehadirat Ilahi. Dia harus menempuh perjalanan dari dunia ego yang penuh realitas sensual menuju kesadaran jiwa akan Realitas Ilahi. Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, para pencari harus membawa gambaran mengenai Syaikhnya (tasawwur) ke dalam hatinya, karena itu merupakan jalan terkuat untuk melepaskan seseorang dari genggaman rasa.
Dalam hatinya Syaikh menjelma menjadi cerminan dari Inti yang Mutlak. Jika dia berhasil, keadaan ghayba atau “absen” dari dunia yang penuh rasa akan tampak pada dirinya. Untuk mengukur bahwa keadaan ini semakin meningkat dalam dirinya, ketertarikan terhadap rasa duniawi akan melemah dan hilang lalu pada dirinya mulai tampak Maqam Kehampaan Mutlak untuk Merasakan yang Lain selain Allah.
Tingkat paling tinggi dari maqam ini disebut Maqam Pemusnahan (fana’). Syah Naqsyband menasihati muridnya, “Ketika Aku mengalami keadaan tanpa kesadaran, tinggalkanlah Aku sendiri dan serahkan dirimu pada keadaan itu dan terimalah haknya atas diri kita.”
Mengenai perjalanan ini, Syaikh Alauddin berkata kepada muridnya,
“Jalur terpendek menuju sasaran kita, yaitu Allah adalah saat Allah menghilangkan sekat dari Inti Wujud Ke-Esaan-Nya yang tampak pada semua makhluk ciptaan-Nya. Dia melakukan hal ini dengan Maqam Penghapusan (ghayba) dan Peleburan dalam Ke-Esaan-Nya yang Mutlak (fana’), sampai Inti Kemegahan-Nya mulai tampak dan menghilangkan kesadaran akan segala hal selain Dia. Ini adalah akhir dari Perjalanan Mencari Allah dan awal dari Perjalanan yang lain.”
“Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Keadaan yang Penuh Daya Tarik muncullah Keadaan Tanpa Kesadaran dan Pemusnahan. Inilah yang menjadi target semua ummat manusia sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ibadah di sini maksudnya Pengetahuan Yang Sempurna (Macrifat).”
Pada tanggal 2 Rajab 802 H, Syaikh Alauddin berkata, “Aku akan meninggalkan kalian menuju kehidupan yang lain dan tak seorang pun yang dapat menghentikan Aku.” Beliau wafat pada tanggal 20 Rajab 802 H dan dimakamkan di kota Jaganyan, salah satu bagian dari Bukhara.
Beliau dikenal sebagai buah dari pohon Pengetahuan Ilahi, Kehidupan dari Pengetahuan Spiritual, Penghapus Kegelapan, Pemandu para bangsawan dan orang-orang kebanyakan, Sumur yang tidak pernah mengering, pemandu terbaik yang menerangi Jalan menuju Kehadirat Ilahi.
Beliau adalah yang pertama dalam menghilangkan singgasana kebohongan dari Jalur Kebenaran. Beliau berdiri di Pusat Bidang Kutub (aqtab) dan menanggung beban kekhalifahan spiritual.
Beliau mengangkat jiwa saudara-saudaranya sampai seluruh alam semesta memanggil dan mengingatkannya. Karena kejujurannya, pengetahuan agama eksternal dan internal bersemi dalam dirinya.
Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Rajab 802 H. Beliau meninggalkan semua warisan ayahnya kepada kedua saudaranya dan mengabdikan dirinya untuk belajar di sekolah di Bukhara. Beliau menjadi ahli di segala bidang seni, khususnya dalam Pengetahuan mengenai Sufisme dan Pengetahuan mengenai Islam. Beliau melamar putri Syah Naqsyband, memintanya untuk menikah dengannya.
Jawaban Syah Naqsyband baru muncul di suatu hari, lewat tengah malam, ketika beliau terbangun dari tidurnya di Qasr al-‘Arifan, dengan segera beliau pergi ke sekolah di Bukhara di mana Alauddin tinggal. Di sana beliau melihat semua orang tertidur, kecuali Alauddin, yang tetap terjaga dengan membaca al-Qur’an diterangi cahaya dari sebuah lampu minyak yang kecil. Beliau mendatanginya dari belakang dan menepuk pundaknya tetapi Alauddin tidak memberi respons. Beliau mendorongnya lebih keras, tetapi tetap tidak ada reaksi. Melalui pandangan spiritualnya, Syah Naqsyband mengerti bahwa Alauddin tidak berada di sana tetapi sedang berada dalam Kehadirat Ilahi.
Beliau lalu memanggilnya secara spiritual dan dengan segera Alauddin menoleh dan berkata, “Oh Syaikhku.” Syah Naqsyband berkata, “Aku bermimpi bahwa Rasulullah telah menerima lamaranmu kepada putriku. Dengan alasan itulah, Aku datang sendiri ke sini, di tengah malam, untuk menyampaikan kabar gembira ini.” Alauddin berkata, “Wahai Syaikhku, Aku tidak punya apa-apa yang bisa dibelanjakan baik oleh putrimu maupun diriku sendiri, karena Aku sangat miskin, seluruh warisan ayahku telah kuberikan kepada saudara-saudaraku.” Syah Naqsyband menjawab, “Wahai anakku, apa pun yang telah dituliskan Allah kepadamu di Hari Perjanjian akan tetap menjadi milikmu. Jadi jangan khawatir, Allah akan menyediakannya.”
Beliau berkata, “Suatu hari seorang Syaikh bertanya kepadaku, ‘Bagaimana hatimu?’ Aku berkata, ‘Aku tidak tahu bagaimana keadaan hatiku.’ Syaikh itu berkata, ‘Aku tahu hatiku, dia bagaikan bulan di sepertiga malam.’ Aku lalu menceritakan hal ini kepada Syah Naqsyband dan beliau berkata, ‘Dia berkata berdasarkan keadaan hatinya.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, beliau meletakkan kakinya di atas kakiku dan menekannya. Tiba-tiba Aku meninggalkan tubuhku dan melihat bahwa segala yang ada di dunia ini dan seluruh alam semesta berada di hatiku. Ketika aku terjaga dari keadaan tidak sadar itu, beliau masih berdiri di atas kakiku, dan berkata, ‘Jika hati seperti itu, maka tak seorang pun yang dapat melukiskannya. Sekarang bagaimana menurutmu hadits yang berbunyi, ‘Bumi dan langit tidak dapat memuat diriku, tetapi Aku berada dalam hati orang-orang yang beriman.’ Ini adalah salah satu rahasia yang harus kalian pahami.”
Selanjutnya Syah Naqsyband bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Beliau mengangkatnya dari satu tingkat pengetahuan ke tingkat lainnya dan mempersiapkannya untuk hadir dalam Kehadirat Ilahi dan untuk mendaki menara Pengetahuan Spiritual yang agung dan meninggalkan segala macam kebodohan untuk mencapai tingkat Realitas.
Beliau menjadi unik di antara sekian banyak murid pengikut Baha’uddin Naqsyband. Selama hidupnya Syah Naqsyband memerintahkannya untuk memberi pencerahan kepada para pengikutnya yang lain.
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Parsa yang menulis bahwa dia mendengar dari Syaikh Alauddin, “Aku diberi kekuatan oleh Syaikhku, Syah Naqsyband, sedemikian rupa sehingga bila Aku ingin memfokuskan setiap orang di alam semesta ini, Aku akan mengangkat mereka semua ke tingkat ihsan.”
Suatu ketika para ulama di Bukhara mempunyai beda pendapat mengenai kemungkinan melihat Allah di dunia ini. Sebagian dari mereka menyangkal kemungkinan itu sementara yang lain merasa yakin. Mereka semua adalah murid Syaikh Alauddin.
Mereka mendatanginya dan berkata, “Kami minta engkau menjadi juri dalam hal ini.” Beliau berkata, “Di antara kalian yang menyangkal kemungkinan untuk melihat Allah dalam kehidupan ini, ikutlah bersamaku selama 3 hari dengan tetap menjaga wudhu dan diam.”
Beliau menjaga mereka selama 3 hari, mengarahkan kekuatan spiritualnya kepada mereka, sampai mereka semua memperlihatkan keadaan yang sangat kuat yang menyebabkan mereka menjadi lemah lunglai. Ketika mereka sadar kembali, mereka mendatanginya dengan menangis, amanna wa saddaqna (“Kami percaya dan kami yakin bahwa hal itu benar!”) sambil mencium kakinya. Mereka berkata kepadanya, “Kami menerima apa yang engkau katakan, melihat Allah dalam hidup ini adalah suatu hal yang tidak mustahil.” Mereka mengabdikan diri mereka kepadanya dan tidak pernah meninggalkannya. Mereka juga menjadikan kebiasaan untuk mencium ambang pintunya. Mereka menggubah syair berikut:
Karena buta mereka bertanya,
“Bagaimana kami mencapai Tuhan?”
Menempatkan lilin kemurnian di tangan mereka.
Mereka akan tahu bahwa kemungkinan untuk melihat tidaklah mustahil.
Syaikh Alauddin sangat disayang dan diistimewakan oleh Syah Naqsyband, sebagaimana Nabi Yusuf yang sangat disayang oleh ayahnya, Nabi Yacqub.
Dari Pancaran Cahaya Kata-Katanya
Beliau berkata,
“Niat dalam berkhalwat adalah untuk meninggalkan segala hubungan duniawi dan mengarahkan diri kepada Kebenaran Surgawi.”
“Dikatakan bahwa para pencari dalam pengetahuan eksternal harus memegang teguh Tali Allah, sedangkan para pencari pengetahuan internal harus terikat kuat kepada Allah.”
“Ketika Syah Naqsyband mendapat pakaian baru, beliau akan memberikannya kepada orang lain untuk dipakai. Setelah mereka memakainya, beliau akan meminjamnya kembali.”
Tingkat Kefanaan
“Ketika Allah membuatmu lupa akan kekuatan duniawi maupun Kerajaan Surgawi, itu adalah Kefanaan yang Mutlak. Dan Jika Dia membuatmu lupa akan Kefanaan yang Mutlak itu, itu adalah Inti dari Kefanaan yang Mutlak.”
Perilaku yang Benar
“Kalian harus berada pada tingkat yang sesuai dengan orang-orang di sekitarmu dan menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya dari mereka, karena Rasulullah bersabda, ‘Aku telah diperintahkan untuk berbicara kepada orang-orang sesuai dengan apa yang bisa dimengerti oleh hati mereka.’”
“Waspadalah dalam menyakiti hari para Sufi. Jika engkau menginginkan persahabatan mereka, pertama kalian harus belajar bagaimana bertingkah laku di hadapan mereka. Kalau tidak kalian akan menyakiti diri sendiri, karena jalan mereka adalah jalan yang paling lembut. Disebutkan bahwa, ‘Tidak ada tempat di Jalan Kami bagi orang-orang yang tidak mempunyai perilaku yang baik.’”
“Jika kalian berpikir bahwa kalian telah berperilaku baik berarti engkau salah, karena memandang dirimu baik adalah suatu kesombongan.”
Mengenai Ziarah Kubur
“Manfaat yang dapat dipetik dari ziarah ke makam Syaikh kalian tergantung dari pengetahuanmu tentang mereka.”
“Berada di dekat makam orang-orang yang shaleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap dirimu, walaupun lebih baik untuk mengarahkan dirimu kepada jiwa mereka adalah dan itu bisa membawa pengaruh spiritual yang tinggi. Rasulullah bersabda, ‘Kirimkanlah do’a kepadaku di mana pun engkau berada.’ Ini menunjukkan bahwa kalian dapat mencapai Rasulullah di mana pun kalian berada, dan itu juga berlaku untuk semua Walinya, karena mereka mendapat kekuatan dari Rasulullah.”
“Adab, atau perilaku yang benar dalam berziarah adalah dengan mengarahkan dirimu kepada Allah dan membuat jiwa-jiwa ini sebagai jalanmu (wasilah) menuju Allah, merendahkan hatimu kepada Ciptaan-Nya. Kalian merendahkan hati secara eksternal kepada mereka dan secara internal kepada Allah. Menunduk di hadapan orang lain tidak diizinkan kecuali kalian memandang mereka sebagai perwujudan Tuhan. Dengan demikian kerendahan hati itu tidak diarahkan kepada mereka, tetapi diarahkan kepada Tuhan yang tampak dalam diri mereka, dan itulah Tuhan.”
Dzikir yang Terbaik
“Jalan untuk berkontemplasi (merenung) dan meditasi lebih tinggi dan lebih sempurna daripada berdzikir dengan kalimat la ilaha illallah. Para pencari, melalui kontemplasi dan meditasi (muraqabat), dapat meraih pengetahuan internal dan mampu memasuki Kerajaan Surgawi. Dia akan diberi kekuasaan untuk melihat Makhluk Allah dan mengetahui apa yang terlintas dalam benak mereka, bahkan gosip atau bisikan terkecil pun dapat diketahuinya. Dia akan diberi kekuasaan untuk mencerahkan hati mereka dengan cahaya inti dari inti tingkat Ke-Esaan.”
Melindungi Hati
“Diam adalah keadaan terbaik, kecuali dalam tiga kondisi: kalian tidak boleh berdiam diri dalam menghadapi gosip buruk yang menyerang hatimu, kalian tidak boleh berdiam diri dalam mengarahkan dirimu untuk mengingat Allah , dan kalian tidak boleh berdiam diri ketika pandangan spiritual dalam hatimu memerintahkan untuk bicara.”
“Melindungi hatimu dari pikiran jahat sangatlah sulit, dan Aku melindungi hatiku selama 20 tahun dengan tidak membiarkan ada satu godaan pun yang memasukinya.”
“Amalan terbaik dalam Thariqat ini adalah menghukum godaan dan gosip di dalam hati.”
“Aku tidak senang terhadap beberapa murid karena mereka tidak berusaha untuk menjaga keadaan pandangan spiritual yang muncul kepada mereka.”
Cinta terhadap Syaikh
“Jika hati para pengikut (murid) dipenuhi dengan cinta terhadap Syaikh, maka cinta ini mengalahkan semua cinta dalam hatinya, kemudian hati itu dapat menerima transmisi Pengetahuan Ilahi, yang tidak berawal dan tidak berakhir.”
“Murid harus menceritakan semua keadaannya kepada Syaikhnya, dan dia harus merasa yakin bahwa dia tidak akan mencapai tujuannya kecuali melalui kepuasan dan cinta Syaikhnya. Dia harus mencari kepuasan itu dan dia harus tahu bahwa semua pintu telah terkunci, internal dan eksternal, kecuali satu pintu, yaitu Syaikhnya. Dia harus mengorbankan dirinya demi Syaikhnya. Walaupun dia telah mempunyai pengetahuan tertinggi dan mujahada (kapasitas untuk berusaha) yang paling tinggi, dia harus meninggalkan semuanya dan sadar bahwa dia tidak ada artinya di hadapan Syaikhnya. Para pencari harus memberikan otoritas penuh kepada Syaikh dalam segala urusannya, baik religius maupun duniawi, sedemikian sehingga dia tidak mempunyai keinginan selain keinginan Syaikhnya. Tugas Syaikh adalah melihat aktivitas murid sehari-hari, memberi nasihat dan memperbaiki dirinya dalam kehidupan dan agamanya serta menolong mereka untuk menemukan jalan terbaik untuk mencapai realitasnya.”
“Mengunjungi Awliya adalah suatu Sunnah Wajiba, yaitu suatu kewajiban setiap pencari, paling tidak setiap hari, atau setiap hari lainnya, sementara menjaga batas dan kehormatan antara dirimu dengan Syaikh. Jika jarak antara kalian dengan Syaikh cukup jauh, kunjungilah beliau paling tidak sekali sebulan atau dua bulan sekali agar hubungan kalian tidak terputus. Jangan hanya tergantung pada koneksi antara dirimu dengan hati mereka.”
“Aku memberi jaminan kepada setiap pencari dalam thariqat ini, jika dia meniru Syaikh dengan hati yang tulus, pada akhirnya dia akan menemukan realitasnya. Syah Naqsyband memerintahkan Aku untuk meniru beliau dan apa pun yang Aku lakukan untuk meniru beliau dengan segera Aku memetik hasilnya.”
Namun demikian beliau juga memperingatkan,
“Para Guru dalam thariqat kita tidak dapat dikenali kecuali dalam Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan (Maqam at-Talwin). Siapa pun yang meniru tingkah laku mereka dalam maqam itu, dia akan berhasil. Namun demikian, barang siapa yang meniru tingkah laku mereka dalam Maqam Ihsan, maqam yang penuh kesempurnaan, dia akan tersesat. Dan dia hanya akan selamat dari penyimpangan itu jika gurunya memberi rahmat dan mengungkapkan Realitas dari Maqam itu kepadanya.”
Apa yang beliau maksudkan, dan sesungguhnya Allah Mahatahu, adalah bahwa para pencari tidak dapat meraih Kesempurnaan sampai dia disempurnakan. Maqam yang Penuh Warna dan Perubahan adalah tempat di mana para pencari berjuang keras dengan puasa, ibadah, khalwat, dan dengan mempertahankan cinta dan penghormatannya kepada gurunya dari satu kesulitan kepada kesulitan yang lain. Meniru gurunya dalam tahap ini akan mendatangkan keberhasilan, karena gurunya sangat ahli dalam semua urusan ini. Namun, jika dia meniru gurunya ketika sedang berada dalam Maqam Kesempurnaan, dia akan berada dalam bahaya, seperti halnya ketika dia ingin terbang tanpa mengembangkan sayapnya lebih dahulu.
Penting sekali bagi para pencari untuk mendaki gunung sebelum dia menikmati pemandangan di puncak. Untuk mendaki gunung, para pencari harus melakukan perjalanan dari dunia yang rendah menuju Kehadirat Ilahi. Dia harus menempuh perjalanan dari dunia ego yang penuh realitas sensual menuju kesadaran jiwa akan Realitas Ilahi. Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, para pencari harus membawa gambaran mengenai Syaikhnya (tasawwur) ke dalam hatinya, karena itu merupakan jalan terkuat untuk melepaskan seseorang dari genggaman rasa.
Dalam hatinya Syaikh menjelma menjadi cerminan dari Inti yang Mutlak. Jika dia berhasil, keadaan ghayba atau “absen” dari dunia yang penuh rasa akan tampak pada dirinya. Untuk mengukur bahwa keadaan ini semakin meningkat dalam dirinya, ketertarikan terhadap rasa duniawi akan melemah dan hilang lalu pada dirinya mulai tampak Maqam Kehampaan Mutlak untuk Merasakan yang Lain selain Allah.
Tingkat paling tinggi dari maqam ini disebut Maqam Pemusnahan (fana’). Syah Naqsyband menasihati muridnya, “Ketika Aku mengalami keadaan tanpa kesadaran, tinggalkanlah Aku sendiri dan serahkan dirimu pada keadaan itu dan terimalah haknya atas diri kita.”
Mengenai perjalanan ini, Syaikh Alauddin berkata kepada muridnya,
“Jalur terpendek menuju sasaran kita, yaitu Allah adalah saat Allah menghilangkan sekat dari Inti Wujud Ke-Esaan-Nya yang tampak pada semua makhluk ciptaan-Nya. Dia melakukan hal ini dengan Maqam Penghapusan (ghayba) dan Peleburan dalam Ke-Esaan-Nya yang Mutlak (fana’), sampai Inti Kemegahan-Nya mulai tampak dan menghilangkan kesadaran akan segala hal selain Dia. Ini adalah akhir dari Perjalanan Mencari Allah dan awal dari Perjalanan yang lain.”
“Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Keadaan yang Penuh Daya Tarik muncullah Keadaan Tanpa Kesadaran dan Pemusnahan. Inilah yang menjadi target semua ummat manusia sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ibadah di sini maksudnya Pengetahuan Yang Sempurna (Macrifat).”
Pada tanggal 2 Rajab 802 H, Syaikh Alauddin berkata, “Aku akan meninggalkan kalian menuju kehidupan yang lain dan tak seorang pun yang dapat menghentikan Aku.” Beliau wafat pada tanggal 20 Rajab 802 H dan dimakamkan di kota Jaganyan, salah satu bagian dari Bukhara.
0 response to "Murobbi Ruhina Syaikhina Syaikh Alauddin Al Atthori RA"
Post a Comment