Hukum Menjual Barang Masjid yang Sudah Rusak

Hukum menjual alat-alat masjid yang sudah rusak

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Menurut pendapat yang kuat, diperbolehkan bila dirasa lebih maslahat untuk dijual, misalnya alat-alat masjid yang telah lapuk dimakan usia, andaikan dibiarkan mangkrak, tidak memiliki manfaat apa pun, hanya menjadi barang rongsok yang memenuhi gudang atau tempat penyimpanan lainnya. Selain tidak digunakan, masjid juga tidak memiliki keuntungan apa pun atas barang-barang tersebut, baik jangka pendek atau jangka panjang.

Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abu Bakr bin Syatha, kebolehan penjualan harta wakaf ini dimaksudkan agar ia tidak tersia-sia, menghasilkan uang (meski minim) dari hasil penjualan yang manfaatnya kembali kepada harta wakaf adalah lebih baik ketimbang membiarkannya sia-sia tanpa guna. Syekh Ibnu Hajar juga menegaskan persoalan ini termasuk pengecualiaan dari larangan menjual harta wakaf.

Pendapat ini disepakati oleh dua guru besar ulama Syafi’iyyah, al-Imam al-Rafi’I, dan al-Imam al-Nawawi. Hasil penjualan barang-barang tersebut bila memungkinkan, wajib dibelikan benda yang sama, semisal tikar masjid yang rusak menumpuk banyak, setelah dijual wajib dibelikan sesama tikar meski dalam jumlah yang lebih minim. Bila tidak memungkinkan, misalnya hasil penjualan alat masjid tidak memadai untuk membeli barang yang sama, maka uang hasil penjualannya ditasarufkan untuk segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan masjid.

Para kiai dalam forum Konbes Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama ke-2 di Jakarta pada tanggal 1-3 Jumadil Ulaa 1381 H/11 - 13 Oktober 1961 M mengambil keputusan tentang hukum menjual barang masjid yang sudah rusak dengan merujuk beberapa referensi sebagai berikut:

1. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin
وَيَجُوْزُ بَيْعُ حُصُرِ الْمَسْجِدِ الْمَوْقُوْفَةِ عَلَيْهِ إِذَا بَلِيَتْ بِأَنْ ذَهَبَ جَمَالُهَا وَنَفْعُهَا وَكَانَتِ الْمَصْلَحَةُ فِيْ بَيْعِهَا وَكَذَا جُذُوْعُهُ الْمُنْكَسِرَةُ خِلاَفًا لِجَمْعٍ فِيْهِمَا )قَوْلُهُ وَيَجُوْزُ بَيْعُ حَصْرِ الْمَسْجِدِ إِلَخ) قَالَ فِي التُّحْفَةِ أَيْ لِئَلاَّ تَضِيْعَ فَتَحْصِيْلُ يَسِيْرٍ مِنْ ثَمَنِهَا يَعُوْدُ عَلَى الْوَقْفِ أَوْلَى مِنْ ضِيَاعِهَا وَاسْتُثْنِيَتْ مِنْ بَيْعِ الْوَقْفِ لِأَنَّهَا صَارَتْ كَالْمَعْدُوْمَةِ ... وَزَادَ فِيْ مَتْنِ الْمِنْهَاجِ وَلَمْ تَصْلُحْ إِلاَّ ِلْلإِحْرَاقِ قَالَ فِيْ التُّحْفَةِ وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ وَلَمْ تَصْلُحْ إلخ مَا إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يُتَّخَذَ مِنْهُ نَحْوُ اْلأَلْوَاحِ فَلاَ تُبَاعُ قَطْعًا بَلْ يَجْتَهِدُ الْحَاكِمُ وَيَسْتَعْمِلُهُ فِيْمَا هُوَ أَقْرَبُ لِمَقْصُوْدِ الْوَاقِفِ قَالَ السُّبْكِيْ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ اسْتِعْمَالُهُ بِإِدْرَاجِهِ فِيْ آلآتِ الْعِمَارَةِ امْتَنَعَ بَيْعُهُ فِيْمَا يَظْهَرُ.اهـ (قَوْلُهُ خِلاَفًا لِجَمْعٍ فِيْهِمَا) أَيْ فِي الْحَصْرِ وَالْجُذُوْعِ صَحَّحُوْا عَدَمَ جَوَازِ بَيْعِهِمَا بِصِفَتِهِمَا الْمَذْكُوْرَةِ إِدَامَةً لِلْوَقْفِ فِيْ عَيْنِهِمَا

Diperbolehkan menjual tikar yang diwakafkan untuk mesjid yang sudah rusak, dengan hilangnya keindahan dan fungsinya, sedangkan kemaslahatnya adalah dengan menjualannya. Begitu pula batang kayu mesjid yang patah, berbeda dengan sejumlah ulama dalam keduanya. (Ungkapan Syekh Zainuddin al-Malibari: “Diperbolehkan menjual tikar yang diwakafkan untuk mesjid.”) Dalam kitab al-Tuhfah Ibn Hajar al-Haitami berkata: “Maksudnya supaya tidak tersia-sia, karena menghasilkan harta -uang- sedikit dari harga penjualannya yang kembali pada barang wakaf itu lebih baik dari pada menyia-nyiakannya. Penjualan tersebut dikecualikan dari -larangan penjualan barang wakaf karena tikar dan batang kayu tersebut seperti sudah tidak ada.” Dalam Matn al-Minhaj al-Nawawi menambahkan: “Dan tikar serta batang kayu tersebut tidak layak kecuali dibakar.” Dalam al-Tuhfah Ibn Hajar berkata: “Dengan ungkapan: “Dan tikar serta batang kayu tersebut tidak layak …” al-Nawawi mengecualikan kondisi bila batang kayu itu masih bisa dibuat papan, maka tidak boleh dijual tanpa khilafiyah para ulama.” Namun hakim -daerah terkait- harus melakukan pertimbangan matang dan menggunakannya dalam perkara yang lebih dekat dengan tujuan si pewakaf. Al-Subki berkata: “Sehingga bila mungkin digunakan sebagai alat-alat perawatan masjid, maka tidak boleh dijual menurut pengkajian yang kuat.” Sampai disini pernyataan Ibn Hajar. (Ungkapan beliau: “Berbeda dengan sejumlah ulama dalam keduanya.”) Maksudnya dalam kasus tikar dan batang kayu. Mereka membenarkan ketidakbolehan menjualnya dengan kondisi tersebut, demi mengabadikan -sifat- wakaf dalam kedua barang itu” (Syekh Zainuddin al-Malibari dan Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha, Fath al-Mu’in dan Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 3, hal. 180).


2. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin
)وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرُبَ) ... فَإِنْ تَعَذَّرَ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِسْتِهْلاَكِ كَأَنْ صَارَ لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِحْرَاقِ اِنْقَطَعَ الْوَقْفُ أَيْ وَيَمْلِكُهُ الْمَوْقُوْفُ عَلَيْهِ حِيْنَئِذٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ ... (وَسُئِلَ) شَيْخُنَا عَمَّا اِذَا عُمِّرَ مَسْجِدٌ بِآلآتٍ جُدُدٍ وَبَقِيَتْ الْآلَةُ الْقَدِيْمَةُ فَهَلْ يَجُوْزُ عِمَارَةُ مَسْجِدٍ آخَرَ قَدِيْمٍ بِهَا أَوْ تُبَاعُ وَ يُحْفَظُ ثَمَنُهَا (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَجُوْزُ عِمَارَةُ مَسْجِدٍ قَدِيْمٍ وَحَادِثٍ بِهَا حَيْثُ قُطِعَ بِعَدَمِ احْتِيَاجِ مَا هِيَ مِنْهُ إِلَيْهَا قَبْلَ فَنَائِهَا وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ . )قَوْلُهُ وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ) أَيْ وَلاَ يُوْهَبُ لِلْخَبَرِ الْمَآرِّ أَوَّلَ الْبَابِ وَكَمَا يَمْتَنِعُ بَيْعُهُ وَهِبَتُهُ يَمْتَنِعُ تَغْيِيْرُ هَيْئَتِهِ كَجَعْلِ الْبُسْتَانِ دَارًا

Barang wakaf tidak boleh dijual meski sudah rusak … Maka bila sudah tidak bisa difungsikan, kecuali dengan pemanfaatan yang menghabiskannya, seperti tidak akan termanfaatkan kecuali dengan dibakar, maka -sifat- wakafnya terputus. Maskudnya maka dalam kondisi seperti ini mauquf ‘alih (pihak yang diwakafi) bisa memilikinya menurut qaul mu’tamad. Guruku (Ibn Hajar al-Haitami) pernah ditanya tentang mesjid yang direnovasi dengan bahan bangunan baru, dan bahan bangunan yang lama (tidak digunakan lagi). Maka apakah boleh merenovasi mesjid lain yang kuno dengan bahan bangunan yang sudah tidak digunakan itu? Maka beliau menjawab: “Boleh merenovasi mesjid lama atau membangun mesjid baru yang lain dengan bahan bangunan yang sudah tidak digunakan tersebut, sekiranya sudah dipastikan mesjid yang direnovasi dengan bahan bangunan baru (dalam soal) tidak membutuhkannya sebelum bahan bangunan yang sudah tidak digunakan itu rusak total. Dan tidak boleh menjualnya sama sekali. (Syekh Zainuddin al-Malibari dan Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha, Fath al-Mu’in dan Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 3, hal. 179-182).
Wong Gunong Pendaki doyan ngopi :)
TERIMA KASIH KUNJUNGANNYA

Semoga atikel berjudul Hukum Menjual Barang Masjid yang Sudah Rusak ini bermanfaat. Jika ingin mengambil sebagian atau keseluruhan isi artikel, silahkan menyertakan dofollow link ke >>
Buka Komentar

0 response to "Hukum Menjual Barang Masjid yang Sudah Rusak "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel